Selasa, 18 September 2018

Reflektor dan Cahaya

Reflektor dalam fotografi adalah alat yang digunakan untuk memantulkan cahaya ke subyek. Reflektor dapat digunakan dengan flash atau sebagai pengganti flash. Jika tidak memiliki pilihan untuk menggunakan flash eksternal, atau flash yang bisa diputar arahnya, reflektor adalah cara terbaik untuk mencapai efek pencahayaan profesional tanpa peralatan profesional.

Reflektor mempunyai ukuran yang bervariasi, tergantung pada jumlah cahaya yang dibutuhkan dan ukuran subyek. Reflektor juga tidak memiliki bentuk baku. Ada yang berbentuk bulat atau bujur sangkar atau persegi panjang. Meskipun ada banyak reflektor yang diproduksi oleh pabrik, fotografer banyak menggunakan reflektor buatan sendiri. Reflektor ini dapat berupa selembar kertas karton.

Pada fotografi yang subyeknya berukuran kecil, cermin dan kartu dapat digunakan sebagai reflektor, baik untuk mengurangi kontras pencahayaan atau menciptakan highlight pada subyek yang reflektif seperti gelas dan perhiasan. Sedangkan subyek yang berukuran besar seperti kendaraan bermotor memerlukan penggunaan reflektor berukuran besar yang sering membutuhkan alat khusus untuk penempatannya.Fotografi outdoor memerlukan reflektor portabel yang lebih ringan, biasanya dapat dilipat, sehingga lebih mudah untuk dibawa dalam perjalanan.Reflektor yang baik ditempatkan pada tempat khusus, atau dipegang oleh asisten untuk mengarahkan cahaya ke subyek. Reflektor biasanya ditempatkan pada sudut yang sama antara sumber cahaya dan subyek.

Bouncing Flash Fotografer menggunakan dinding dan langit-langit kamar sebagai reflektor, terutama pada interior bangunan yang cahaya yang tersedia kurang memadai. Teknik ini dikenal sebagai fotografi “bouncing flash“, area yang akan difoto diterangi oleh pancahayaan yang dipantulkan ke dinding, yang kemudian memberikan penerangan yang mirip dengan sebuah jendela besar. Ketika dipantulkan dari langit-langit, pencahayaan menyerupai lampu neon. Dengan demikian didapatkan pencahayaan interior yang lebih realistis. Bouncing flash dapat dijadikan sumber cahaya primer (key) atau sekunder (fill), tergantung pada intensitasnya.

Reflektor juga digunakan untuk mengubah kualitas cahaya dalam foto. Warna reflektor akan muncul dalam cahaya yang dipantulkan ke subyek.
 Emas – menciptakan warna hangat  Putih – efek warna netral  Biru – menciptakan suasana dingin  Perak – menciptakan suasana netral namun lebih terang dari reflektor putih Perubahan-perubahan dalam tonal cahaya tersebut didasarkan pada temperatur warna dan white balance.

Berdasarkan jenisnya reflektor untuk fotografi bisa dibagi ke dalam 2 jenis, yaitu :

- Reflektor alamiah. Reflektor yang terbuat dari alam yang ada di sekitar kita. Misalnya : pasir putih yang memantulkan cahaya matahari, pantulan cahaya matahari pada air laut, kolam atau danau, bidang tembok putih pada sebuah bangunan.

- Reflektor buatan. Reflektor buatan manusia yang memang sengaja dibuat untuk keperluan fotografi.

* Reflektor buatan dibagi dalam 3 jenis atau warna permukaan :

- Reflektor berwarna emas atau gold. biasanya digunakan untuk memberikan efek warna yang lebih hangat pada skin tone manusia atau model.

- Reflektor berwarna perak atau silver. digunakan untuk menerangi bagian gelap pada model atau obyek dengan efek yang lebih putih atau terang yang agak keras.

- Reflektor berwarna putih. biasanya dibuat dari bahan styrofoam, untuk memberi efek warna putih yang lebih lembut dan merata.
Share:

Kelemahan penggunaan Flash

Kelemahan Penggunaan Flash


Flash adalah sebuah perangkat yang digunakan dalam fotografi untuk menghasilkan kilatan cahaya buatan (biasanya memiliki kecepatan 1/1000 sampai 1/200 detik) pada temperatur warna sekitar 5500o Kelvin. Tujuan utama penggunaan flash adalah untuk menerangi kondisi gelap. Kegunaan lainnya adalah menangkap obyek yang bergerak cepat atau mengubah kualitas cahaya. Flash mengacu pada kilatan cahaya itu sendiri atau perangkat elektronik yang mengeluarkan kilat cahaya.

Unit flash biasanya built in langsung pada kamera. Namun ada beberapa kamera memungkinkan unit flash yang terpisah. Dalam peralatan studio profesional, ukuran flash bisa sangat besar (strobe), dan merupakan unit tersendiri, sumber daya yang digunakan berasal dari baterai khusus atau listrik PLN. Unit tersebut disinkronkan dengan kamera menggunakan kabel sinkronisasi flash (flash synchronization) atau sinyal radio. Bahkan juga ada yang dipicu oleh cahaya, yang berarti bahwa hanya perlu satu unit flash yang disinkronkan dengan kamera, dan cahayanya akan memicu unit flash lainnya.

Meskipun memiliki banyak fungsi, penggunaan flash juga memiliki kelemahan, antara
lain:
 Menggunakan flash yang built-in pada kamera akan memberikan cahaya yang yang bersifat hard light, yang mengakibatkan hilangnya bayangan pada gambar, karena sumber cahayanya praktis berasal dari tempat yang sama dengan kamera. Menyeimbangkan pencahayaan atau menggunakan unit flash yang terpisah dapat membantu mengatasi masalah ini. Menggunakan payung atau softbox (flash harus terpisah dari kamera) membuat bayangan yang dihasilkan lebih lembut.  Masalah khas menggunakan flash built-in kamera adalah memiliki intensitas cahaya yang rendah, tingkat cahaya yang dihasilkan sering tidak cukup untuk subyek yang berada pada jarak 3 meter atau lebih. Yang dihasilkan adalah gambar yang gelap dengan noise yang berlebihan. Dalam mendapatkan gambar yang baik dengan flash, terutama dengan kamera sederhana, adalah penting untuk tidak melebihi jarak yang direkomendasikan (baca buku manual kamera). Flash yang lebih besar, misalnya pada studio, memiliki intensitas cahaya yang cukup untuk jarak yang lebih jauh, meskipun tidak dipancarkan secara langsung (dipantulkan melalui payung), dan bahkan dapat digunakan untuk menandingi sinar matahari, jika ditempatkan pada jarak yang dekat dari subyek.  Efek “Red Eye” adalah masalah lain dengan pada kamera dan unit flash. Karena retina mata manusia memantulkan cahaya merah langsung kembali ke arah cahaya itu berasal, maka setiap gambar yang diambil dari depan wajah sering menunjukkan efek ini. Hal ini dapat agak dikurangi dengan menggunakan red eye reduction yang dapat ditemukan pada kebanyakan kamera. Namun, hasil yang lebih baik hanya dapat diperoleh dengan menggunakan unit flash yang terpisah dari kamera, atau dengan menggunakan flash bouncing, di mana arah flash diubah sehingga cahaya dipantulkan dari langit-langit, dinding, atau reflektor.  Pada beberapa kamera, flash terjadi lebih cepat dari menutupnya shutter. Hal ini akan menyebabkan subyek berkedip. Salah satu solusinya adalah menggunakan FEL (flash exposure lock) yang ditawarkan pada beberapa kamera mahal, yang memungkinkan fotografer menyalakan flash beberapa waktu sebelum mengambil gambar.

 Flash dapat mengalihkan perhatian, sehingga menyebabkan subyek yang diambil gambarnya menjadi jengkel.  Memotret dengan flash tidak diizinkan pada beberapa lokasi, misalnya museum atau tempat ibadah.  Unit flash yang terpisah memakan waktu untuk pemasangannya, dan perlu perhatian lebih agar tidak mudah jatuh. Angin dapat dengan mudah merobohkan flash yang dilengkapi dengan payung jika landasannya tidak kokoh. 

 

Share:

Temperatur Warna

Temperatur Warna (Kelvin)

Saat memotret kita tentu ingin menangkap sebuah scene seperti yang kita lihat dengan mata kita. Bias warna cahaya tergantung dari temperatur cahaya tersebut.
Temperatur Warna merupakan kesan yang ditimbulkan oleh cahaya terhadap sebuah obyek ketika cahaya itu mengenai obyek. Ukuran temperatur warna dinyatakan dalam satuan derajat Kelvin ( K ). Semakin besar ukuran derajat Kelvin, maka warna obyek semakin putih, kebalikannya maka obyek akan terlihat semakin menguning.
Cahaya matahari di sekitar 5800 Kelvin dianggap netral. Secara teknis, nilai suhu didapat dari perhitungan suhu benda yang disebut Radioator Planck sampai benda itu memancarkan cahaya dengan warna tersebut. Karena itulah warna cahaya diekpresikan dalam Kelvin.
Pada camera DSLR kita dapat mengatur nilai ini melalui setting manual.
Berikut beberapa panduan:
 1.500K                Cahaya Lilin
 2.750K                Lampu Pijar
 3.200K                Lampu Halogen
 3.500K                Matahari sebelum terbenam
 4.000K                Neon Biasa
 5.000K                Neon Putih
 5.500K                Matahari pagi dan siang
 5.800K                Matahri sore
 6.000K                Lampu Kilat
 7.000K               Cahaya Mendung

 8.000K                Cahaya Berkabut
 9.000K -             Langit biru malam hari (“Blue hour”) 
    12.000K
 15.000K -           Langit Kutub 
    25.000K
Share:

Sabtu, 15 September 2018

Sensor VS Megapixel

Megapixel vs Sensor Kamera, Mana yang Lebih Penting ?


Ternyata selama ini banyak diantara kita salah kaprah. Kita sering berpikir bahwa kualitas kamera dan foto di smartphone adalah megapixel. Kita sering tergiur dengan smartphone yang menawarkan kamera dengan megepixel tinggi. Tapi kadang megapixel sudah tinggi, tapi gambar kok tidak bagus juga. Kenapa ya?

Apakah spesifikasi MEGAPIXEL makin besar berarti MAKIN T.O.P KAMERA dan HASIL GAMBARNYA?

Apakah MEGAPIXEL bisa terlalu besar dan efeknya malah NEGATIF?

Ayo mampir sini yang ingin mengenal lebih dekat si PIXEL, MEGAPIXEL ini :)

A. KENALAN dulu sama si PIXEL yaa...
Pixel adalah PICture ELement yaitu satu elemen titik pada gambar yang diciptakan secara digital.

Pixel itu sebenernya NGGA ADA loh di kamera kita. Yang ada di kamera kita adalah SENSOR dengan PENERIMA CAHAYA. Gambar yang jatuh ke sensor itulah yang DIUBAH oleh kamera menjadi pixel.

Jadi agak kebacut sih kalo bilang KAMERANYA BERAPA MP? Seolah2 Megapixel itu spesifikasi teknis di dalam kamera. Lah wong di dalem kamera ga ada MP kok. Harusnya pertanyaan lengkapnya tuh : Kameranya bisa bikin gambar dengan ukuran berapa mega pixel? Tapi panjang yaaa.. dan ribet..  :p

Jadi kamera dengan spesifikasi xxx Pixel, adalah kamera yang BISA MENCIPTAKAN gambar dengan jumlah pixel sebesar xxx. Paham yak....

TERUS kenapa ya kalo ada kamera model baru salah satu yang pasti dipajang gede2 tuh ANGKA PIXEL yg FANTASTIS. KENAPA YA MEGAPIXEL kok KAYANYA penting banget?? Emang penting apa ngga sih?

B. SEJARAH TERKENALNYA si MEGAPIXEL :p

Kita liat SEJARAHnya dulu yak biar ngeh banget.

DAHULU…..

Daat dimulainya era KAMERA DIGITAL, teknologi hanya mampu menciptakan sensor yang bisa menampung 200-300.000 pixel. Seperti banyak yak udah ratusan ribu, tapi jumlah ini masih sangat sedikit dan menghasilkan gambar yang sangat grainy / tidak jernih / tidak bening.

Kita tahu teknologi tidak akan pernah berhenti berkembang, dengan cepat teknologi menemukan cara bagimana memadatkan SATU JUTA PIXEL ke dalam sensor kamera digital yang ada.

Satu juta pixel = SATU MEGA PIXEL

Gambar satu Mega Pixel udah jauuuuuh lebih lumayan dibanding yang ratusan ribu, tetapi nyatanya hasil fotonya masih sangat jelek, grainy, tidak jernih, tidak bening, pecah meskipun HANYA DICETAK ukuran 4R…. elek wis pokokna.

SEJAK ITU orang berpikir : “Hmmm kalau dari ratusan ribu ke satu juta pixel, hasil gambar agak lumayan, berarti kalau bisa MAKIN BANYAK PIXEL yang diciptakan oleh kamera digital (baca: makin besar Megapixel), gambar yang dihasilkan PASTI MAKIN BAGUS!!! "

Customer bilang : AKU MAU YANG MEGAPIXEL MAKIN BESARRR!

Dari situlah ASAL MUASAL kenapa spesifikasi besarnya megapixel menjadi PARAMETER PALING PENTING dalam dunia kamera digital SAAT ITU. Itulah titik di mana dimulai PIXEL RACE (perlombaan antar produsen untuk menciptakan kamera digital yang mampu menciptakan gambar dengan pixel makin banyak (angka megapixel makin besar). Konsumen akan memburu kamera terbaru dengan spesifikasi MP makin besar. Slogan waktu itu : MAKIN BESAR MP, MAKIN BAIK.

Ya iya sih ga salah, SAAT ITU memang betul, makin besar MP kualitas kamera PASTI MAKIN BAIK.

Jaman itu kan masih JAMAN AWAL KAMERA DIGITAL. Masih banyak penemuan ... maka dengan direlease kamera terbaru dengan spesifikasi MP makin besar, maka hampir DAPAT DIPASTIKAN bahwa banyak KOMPONEN LAIN dalam kamera digital itu yang juga DIPERBAIKI : lensa yang makin bagus, sensor yang makin bagus, dll. Jadi, kualitas gambar yang dihasilkan secara keseluruhan otomatis semakin baik.

Lalu, tiba di satu titik di mana BERTAMBAHNYA Megapixel TIDAK selalu DIIKUTI perkembangan yang siginifikan dari KOMPONEN LAIN dalam kamera.

Nah saat inilah titik di mana sebetulnya spesifikasi besarnya MP TIDAK LAGI MENCERMINKAN KUALITAS KAMERA. Lebih besar MP belum tentu kamera lebih bagus. Masih banyak banyak banyak faktor lain yang menentukan kualitas gambar yang diciptakan oleh kamera digital dibanding ukuran MP.

Begitu kira-kira cerita awal kenapa angka MP sampai sekarang masih suka dihubungkan orang dengan seberapa bagus kamera digital secara keseluruhan…. :)

Terus sebetulnya seberapa besar sih BANYAKNYA MP yang CUKUP?

C. CARA MENGHITUNG KECUKUPAN MEGAPIXEL yang DIBUTUHKAN

Ini dia CARA MENGHITUNG JUMLAH PIXEL yang dibutuhkan

Tentukan ukuran cetakan yang mau dibuat misal 6R

6R = 6 x 8 inch

Gambar dengan KUALITAS SANGAT HALUS (kalao diliat dari deket juga ga ada pecah/ grain sama sekali) apabila terdapat

300 dots setiap inci nya (dot per inch -> DPI)

atau

300 pixel setiap incinya (pixel per inch -> PPI)

JADI untuk 6 x 8 inch tinggal kalikan saja masing2 angka dengan 300 terlebih dahulu.

(6 x 300)

dikali

(8 x 300)

= 4.320.000

= 4.32 MP

gampang kann… yukk coba lagiii

Ukuran 10R misalnya

10R = 10 x 12 inch
= (10 x 300) x (12 x 300)
= 10.800.000
= 10.8 MP

Hayooo ada yang mulai kepikiran gaaa....kalo gitu, kameraku yang cuman 6 MP ga bakal CUKUP dong kalo foto buat diperbesar 10R ? Jawabannya : YA, TIDAK CUKUP PIXEL untuk dicetak 10R dengan resolusi 300dpi.

Ga bisa diperbesar sampai 10R? MASIH BISA, lebih dari 10R juga bisa...

Tapi kan ga cukup pixelnya, terus jadi jelek ga? RESOLUSI TIDAK BISA 300dpi betul,

TETAPI agar suatu gambar terlihat bagus, tidak hanya butuh resolusi 300dpi. Di atas itu LEBIH UTAMA LAGI ADALAH kualitas foto itu sendiri harus baik. Berarti, cara mengambil gambar harus benar, pencahayaan tepat, ketajaman tepat, fokus tepat, kontras baik, warna pas, dengan demikian apabila kita harus menurunkan resolusi menjadi kurang dari 300dpi, gambar akan tetap terlihat INDAH dan BENING bila DILIHAT DARI JARAK LEBIH JAUH.

Perlu diingat, SEMAKIN BESAR GAMBAR, SEMAKIN JAUH JARAK KITA MELIHATNYA. Tidak mungkin kan gambar 10R kita taro bener2 di depan mata kaya kalo kita lihat gambar pasfoto 3x4cm? Pasti kita otomatis MUNDUR untuk menikmatinya. Dengan demikian resolusi yang tidak terlalu halus TIDAK MASALAH, TIDAK TERLIHAT, asal secara kuaitas gambar memang sudah bagus.

Sama halnya dengan gambar BALIHO CALEG, tujuannya kan untuk dilihat dari jarak jauh, MAKIN BESAR PRINT, tujuannya untuk DILIHAT DARI JARAK MAKIN JAUH. Memang kalau dilihat dari dekat, gambar terlihat pecah. Tapi dari JAUH, asal foto bagus, gambar tetap terlihat bagus.

Begitu loh sekilas info pengenalan MEGAPIXEL. Kita lanjutkan nanti ya mengenai kapan butuh MP besar dan apakah MP besar selalu menguntungkan?


Share:

Lensa Sony G Master

Lensa-lensa Sony G Master

Sony akhirnya menjawab tuntutan dari fotografer profesional dan amatir serius dengan meluncurkan tiga lensa berlabel G Master. Lensa-lensa ini antara lain: Sony FE 85mm f/1.4 GM, Sony FE 24-70mm f/2.8, dan Sony FE 70-200mm f/2.8 GM.

Kiri ke kanan: Kamera Sony A7 II dengan lensa FE GM 70-200mm f/2.8 OSS, 24-70mm f/2.8 dan 85mm f/1.4

Sony menyatakan bahwa lensa-lensa G Master memiliki standar yang lebih tinggi dari lensa-lensa yang sudah beredar sebelumnya (Sony FE, Sony G, dan Sony Zeiss). Untuk lensa-lensa G Master, Sony mengunakan standard spatial frequency 50 lp/mm. Biasanya lensa-lensa lainnya mengunakan standar sampai dengan 30 lp/mm dan 40 lp/mm untuk lensa Zeiss.


Akibatnya lensa-lensa tersebut dapat merekam detail yang sangat banyak dan jelas dan siap untuk kamera beresolusi lebih dari 40 MP. Lensa-lensa FE yang sudah ada masih bagus untuk 40 MP, tapi kedepannya, kemungkinan Sony akan membuat sensor yang melebihi 40 MP.

Untuk lensa 85mm f/1.4 Sony juga mengungkapkan bahwa mereka mengunakan mesin cetak khusus untuk memuluskan elemen Aspherical lensa. Dengan mesin ini, permukaan lensa bisa sangat mulus, sekitar 0.01 mikron. Dengan memuluskan elemen ASPH. ini, bokeh / bagian yang tidak fokus sangat mulus dan tidak memunculkan efek bentuk seperti bawang, sedangkan bagian yang fokus bisa tetap sangat tajam.


Teknologi ini signifikan karena, selama ini desainer lensa harus memilih antara memprioritaskan ketajaman (resolusi) atau kemulusan latar belakang. Lensa GM juga memiliki 11 bilah aperture yang membuat bulatan-bulatan blur / bokeh berbentuk lingkaran yang mulus.


Zeiss Batis 85mm f/1.8 OSS vs Sony FE 85mm f/1.4 GM
Ada pembaca yang menanyakan apa bedanya antara Sony GM 85mm f/1.4 dengan Zeiss Batis 85mm f/1.8 OSS. Perbedaannya cukup banyak, seperti bukaan maksimum lensa Sony lebih besar  2/3 stop. Jadinya lebih terang dan lebih blur latar belakangnya. Selain itu, blur latar belakang lensa Sony lebih mulus. Soal ketajaman kurang lebih sama.

Kiri: Sony FE 85mm f/1.4 GM, Kanan: Zeiss Batis 85mm f/1.4

Kelebihan Zeiss Batis 85mm adalah ukuran dan beratnya yang lebih ringan. Batis 85mm beratnya hanya 475 gram, sedangkan yang Sony hampir dua kali lipatnya yaitu 820 gram. Dan Zeiss Batis punya stabilizer di lensa (OSS), sedangkan yang Sony tidak. Stabilizer akan sangat membantu saat dipasang dengan kamera Sony yang tidak memiliki stabilizer seperti A7 generasi pertama dan Sony A6000, A5000 dst.

Satu lagi yang berbeda, yaitu di Zeiss memiliki layar OLED penunjuk jarak fokus dan depth of field, sedangkan di Sony tidak ada, tapi punya aperture ring.

Perbedaan lain yaitu di karakter bokeh-nya. Zeiss Batis memiliki bokeh yang agak berputar (swirly) dan bagian highlightnya berbentuk seperti daun, sedangkan yang GM bokehnya berbentuk bulatan.

Dari segi harga juga berbeda, cukup jauh, sekitar $600 atau Rp 8.4 juta. Zeiss Batis 85mm harganya US$ 1200, sedangkan yang Sony FE 85mm f/1.4 harganya US$1800.

KESIMPULAN
Dengan hadirnya ketiga lensa elit ini, maka Sony menunjukkan keseriusan dan prioritas mereka untuk mendapatkan hati dari fotografer profesional dan penghobi serius yang tidak ingin berkompromi dengan kualitas gambar.


Oleh karena bukaan lensanya besar dan kualitasnya tinggi, lensa-lensa GM ukurannya memang jadi relatif besar, sama dengan lensa-lensa profesional DSLR. Ya, ini memang tidak bisa dihindari, karena hukum fisika optik dan teknologi saat ini belum memungkinkan untuk membuat lensa berkualitas tinggi dan berbukaan besar tapi ukurannya mungil.

Bagi yang suka lensa-lensa yang lebih compact, pilihannya sebenarnya sudah ada juga, yaitu Sony Zeiss 24-70mm f/4 OSS, Sony FE 70-200mm f/4 OSS dan Zeiss Batis 85mm f/1.8 OSS

sumber:http://www.infofotografi.com
Share:

Tipe - Tipe Lensa Kamera

Mengenal Tipe-Tipe Lensa Kamera



Banyak dari kita seringkali kebingungan dalam memilih lensa yang sesuai dengan kebutuhan kita. Selain memang beragam jenis lensa yang ada, juga karena harganya cukup mahal sehingga jangan sampai kita salah memilih. Ada baiknya kita memahami kategori lensa terlebih dahulu supaya bisa sesuai dengan kebutuhan dan kegunaannya.





Tipe-tipe Lensa DSLR
Lensa dibagi menjadi 3 bagian yaitu
1. Lensa Prime
2. Lensa Wide
3. Lensa Tele and Makro

1. Prime Lens/Fix Lens

Disini saya membaginya dalam dua tipe utama,yaitu Prime Lens/Fix Lens dan Zoom Lens.

A. Prime Lens memiliki focal length / panjang fokal tetap, sehingga subyek foto tidak dapat diperbesar atau diperkecil. Kita harus berpindah posisi jika akan mengatur besar kecilnya obyek maupun sudut pandangnya. Lensa jenis ini biasanya mempunyai ukuran lebih kecil daripada zoom lens (perbandingannya tentu dengan focal length / panjang fokal yang setara). Hasil yang diperoleh pun lebih tajam. Prime lens juga memiliki bukaan yang lebar sehingga dapat menghasilkan efek bokeh/blur yang lebih baik. Beberapa jenis lensa tipe ini antara lain Canon EF 14mm f/2.8 L II USM, Canon EF 28mm f/1.8 USM, Canon EF 35mm f/1.4 L USM, Canon EF 50mm f/1.8 II, NIKON AF 50mm f/1.8D, SIGMA AF 70mm F/2.8 EX DG MACRO, Canon EF 85mm f/1.8 USM, Canon EF 100mm f/2.8 Macro USM, Canon EF 200mm f/2.8L II USM, NIKON AF 135mm f/2D DC, dan masih banyak lagi.


B. Zoom Lens memiliki rentang fokus yang berbeda yang bisa diatur sesuai keinginan kita, jadi kebalikan dengan Prime Lens. Kelebihan Zoom Lens ialah fleksibelitasnya yaitu dengan satu buah lensa kita bisa mendapatkan focal length / panjang fokal yang bervariasi maupun sudut lensa yang bervariasi sehingga kita tidak direpotkan dengan seringnya pindah posisi. Sedangkan kelemahannya adalah ukurannya yang lebih besar dan lebih berat serta dan kualitas ketajaman gambar yang dihasilkan masih dibawah Prime Lens. Beberapa jenis lensa tipe ini antara lain Canon EF-S 10-22mm f/3.5-4.5 USM, NIKON AF-S 10-24mm f/3.5-4.5G ED DX, Canon EF-S 15-85mm f/3.5-5.6 IS USM, TOKINA AT-X 16.5-135mm F3.5-5.6 DX, Canon EF 24-70mm f/2.8L II USM, Canon EF-S 55-250mm f/4-5.6 IS II, Canon EF 70-200mm f/2.8L USM, TAMRON SP 70-300mm F/4-5.6 Di VC USD, dan masih banyak lagi.


note : Zoom Lens seringkali juga dilengkapi informasi rasio perbesarannya, hanya saja perlu dicermati bahwa perbesaran yang dimaksud adalah rasio focal length / panjang fokal terkecil berbanding focal length / panjang fokal terbesar. Jadi bukan perbesaran gambar dari aktualnya. Misal Canon EF-S 15-85mm f/3.5-5.6 IS USM, rasio perbesarannya adalah 85 : 15 atau 5,6 : 1.


2. Lensa Wide

Lensa wide (atau wideangle) sesuai namanya biasa disebut juga dengan lensa (sudut) lebar. Makna dari lebar artinya bisa mencakup sudut gambar yang luas sehingga lensa ini bisa memasukkan area yang luas dalam satu bidang foto. Fokal lensa yang bisa dibilang lebar adalah antara 10-30mm, sementara dibawah 10mm sudah masuk kelas fish eye. Bila anda memakai lensa kit dengan fokal 18-55mm (yang akan setara dengan 28-85mm akibat crop factor) mungkin akan merasakan kalau lensa tersebut kurang begitu wide. Maka untuk kebutuhan yang lebih wide, orang lantas mempertimbangkan untuk memiliki satu lagi lensa wideangle.
Okeoke.. Lebih lanjut saya membaginya dalam 5 sub jenis lensa, yaitu
A. Ultra Wide Lens,
B. Wide Lens,
C. Standard Lens,
D. Tele Lens,
E. dan Super Tele Lens.
A. Ultra Wide Lens

Lensa ini memiliki lebar sudut pandang lebih dari 90°. Jika kita lihat dari ukuran panjang fokal lensanya antara 8mm – 20mm. Kebanyakan dipakai untuk foto landscape dan interior.


B. Wide Lens

Lensa ini memiliki lebar sudut pandang antara 60° sampai dengan 90°. Jika kita lihat dari ukuran panjang fokal lensanya antara 20mm – 35mm. Kebanyakan dipakai untuk foto landscape dan interior.


C. Standard Lens
Lensa ini memiliki lebar sudut pandang antara 25° sampai dengan 60°. Jika kita lihat dari ukuran panjang fokal lensanya antara 35mm – 105mm. Kebanyakan dipakai untuk foto kegiatan sehari-hari, ada juga yang digunakan untuk foto portrait.
3. Lensa Tele and Makro

3A. Lensa Tele

Telephoto didefinisikan sebagai lensa yang memiliki konstruksi panjang yang lebih pendek daripada panjang fokusnya sehingga mengakibatkan pusat optis yang berada di luar body lensa itu sendiri. Beberapa pakar fotografi menganggap bahwa lensa yang disebut lensa ini adalah yang memiliki panjang fokal diatas 60mm, meskipun hal itu cukup relatif karena ada pula yang menyebut lensa ini harus memiliki panjang fokus diatas 280mm. Namun yang harus diperhatikan pula bahwa ternyata lensa jenis ini juga dibagi dua jenis, yakni Tele zoom dan Tele non zoom. Sebagai contoh, Tele zoom adalah Nikon 70-300mm, sedangkan Tele non zoom adalah Nikon 300mm f/4.5. Berbagai produsen tentunya memiliki produk lensa Tele masing-masing ditambah produsen 3rd seperti Tamron, Sigma, Carl Zeiss maupun Leica.

A.  Tele Lens

Lensa ini memiliki lebar sudut pandang antara 10° sampai dengan 25°. Jika kita lihat dari ukuran panjang fokal lensanya antara 105mm – 200mm. Kebanyakan dipakai untuk foto kegiatan olah raga, foto fashion, tapi ada juga yang mengunakan untuk foto portrait.


B. Super Tele Lens

Lensa ini memiliki lebar sudut pandang kurang dari 10°. Jika kita lihat dari ukuran panjang fokal lensanya lebih dari 200mm. Kebanyakan dipakai untuk foto kegiatan olah raga maupun foto satwa liar.

3B. Lensa Makro


Lensa makro digunakan untuk mengambil gambar objek yang sangat kecil seperti serangga, tanaman, atau tetesan air. Lensa makro memiliki jarak fokus yang sangat pendek sehingga memungkinkan kamera untuk fokus pada objek yang sangat dekat dan membuatnya berukuran sebesar mungkin.Panjang fokus lensa makro berkisar dari 50 mm hingga 200 mm. Semakin besar panjang fokus, semakin jauh Anda dapat memotret dari objek Anda.
saya memasukkan dalam sub jenis lensa untuk keperluan khusus, yaitu
A. Macro Lens,
B. Fisheye Lens,
C. Soft Focus Lens,
D. dan Perspective Control Lens.

Biasanya, produsen lensa sudah mencantumkan kode khusus untuk lensa tipe ini.
A. Macro Lens
Lensa makro didisain untuk memfoto benda-benda kecil dan dekat. Dengan demikian lensa makro harus mempunyai jarak fokus yang dekat. Perbandingan obyek foto dengan tangkapan gambar pada sensor atau film biasanya 1:1, yang artinya pada saat fokus dengan jarak sangat dekat dengan subyek foto maka ukuran subyek foto akan sama besar dengan gambar tangkapan pada sensor kamera atau film.

B. Fisheye Lens
Lensa fisheye adalah lensa yang memiliki wide-angle / sudut lebar yang ekstim. Bahkan ada lensa yang mempunyai sudut pandang sampai 180°. Selain itu, lensa jenis ini juga mempunyai distorsi yang ekstrim pula. Kenapa disebut fisheye, ya karena memang menyerupai mata ikan.

C. Perspective Control Lens
Lensa ini digunakan untuk architectural photographs. Tidak banyak yang menggunakan tipe lensa ini karena memang terlalu spesifik. Lensa yang termasuk tipe ini salah satunya adalah tilt-shift lens.
ika kita sudah memahami jenis-jenis lensa DSLR tersebut diatas, kita akan dengan sendirinya mengetahui lensa mana yang sesuai dengan kebutuhan kita. kedepannya saya akan membahas tentang kapan saatnya menggunakan lensa wide dan telephoto
sumber:https://www.plazakamera.com
Share:

Mirrorless VS DSLR

Mirrorless VS DSLR




Saat mendengar istilah “interchangeable lens camera” (ILC) alias kamera dengan lensa yang bisa diganti-ganti, biasanya yang terbayang adalah kamera DSLR berikut jajaran lensa berukuran besar dan berat. Tapi tak semua ILC dapat digolongkan sebagai Digital Single-Lens Reflex (DSLR). Dalam beberapa tahun terakhir, telah beredar ILC jenis baru yang ukurannya jauh lebih ringkas. Kategori kamera ini lazim dikenal dengan istilah Mirrorless ILC (MILC) atau untuk singkatnya “ mirrorless” saja. Apa itu kamera mirrorless? Sesuai julukannya yang berarti “tanpa cermin”, mirrorless sejatinya adalah DSLR yang dihilangkan bagian pemantul cahayanya (mirrorbox). Tanpa mirrorbox yang berfungsi membelokkan cahaya dari lensa ke jendela bidik optis, ukuran kamera mirrorless bisa dibuat jauh menciut dibandingkan DSLR, sambil tetap mempertahankan kualitas tangkapan gambar dan lensa yang bisa diganti-ganti. 

Diagram keluaran Panasonic mengenai perbedaan kamera mirrorless Lumix GF1 dan DSLR Lumix L10. Terlihat mekanisme mirrorbox DSLR terdiri dari cermin utama (main mirror) yang membelokkan cahaya dari lensa ke OVF dan sensor metering (AE Sensor), serta cermin kedua (sub mirror) yang membelokkan cahaya ke AF sensor di bagian bawah kamera untuk melakukan autofokus. Sebaliknya, konstruksi mirrorless jauh lebih sederhana karena cahaya diteruskan secara langsung ke sensor gambar, yang kemudian meneruskan hasil tangkapan gambarnya sebagai preview di layar LCD atau EVF.(Panasonic)

Antara mirrorless dan DSLR Lantaran tak memiliki mirrorbox, kamera mirrorless memiliki sejumlah perbedaan mendasar dengan DSLR di samping bentuknya yang relatif lebih kecil dan konstruksi yang lebih sederhana (tanpa komponen mekanik untuk mirrorbox). Pertama, mirrorless tidak memiliki jendela bidik optik (OVF, optical viewfinder). Proses pembidikan gambar atau framing dilakukan lewat layar LCD atau jendela bidik elektronik (EVF, electronic viewfinder). Cara kerja EVF sebenarnya sama dengan layar LCD, yakni menyalurkan gambar lewat sensor yang terus menerus aktif. Hanya saja penempatan dan ukurannya yang berbeda, yakni dibuat serupa jendela bidik optis untuk “dikeker” dengan sebelah mata. EVF memiliki kelebihan dibanding OVF, misalnya pengguna bisa langsung melihat perubahan hasil exposure saat menyesuaikan paramenter seperti aperture, ISO, atau white balance. Bisa pula ditambahkan overlay aneka informasi berguna, seperti level indicator atau histogram untuk memandu exposure. Kekurangannya, EVF lebih boros daya karena kamera harus senantiasa mengaktifkan sensor dan layar jendela bidik supaya pengguna bisa melihat gambar. 

OVF pada DSLR menayangkan gambar dari lensa (Through The Lens, TTL) dengan membelokkan cahaya melalui mekanisme mirrorbox dan pentaprisma, seperti tampak dalam area berwarna kuning di gambar kiri. EVF pada mirrorless memiliki cara kerja sama dengan layar LCD, yakni menayangkan gambar yang ditangkap oleh sensor. Hanya saja, peletakan dan ukurannya berbeda.(Epson) 

Pengguna DSLR bisa melihat obyek yang ada di depan lensa (Through The Lens, TTL) melalui OVF saat kamera sedang tidak dinyalakan. Ini karena mekanisme mirrorbox meneruskan cahaya dari lensa menuju pentaprisma, lalu viewfinder, tanpa harus mengenai sensor. Sebaliknya, EVF pada mirrorless akan tampak gelap gulita saat kamera tidak menyala. Jika kamera menyala dan sensor aktif, barulah gambar yang "dilihat" oleh lensa bisa ditampilkan di EVF mirrorless. Ketika dipakai membidik melalui LCD, baik mirrorless maupun DSLR (lewat Live View) menggunakan prinsip kerja yang sama, yakni meneruskan gambar yang ditangkap sensor ke layar. 

Karena pada dasarnya merupakan layar digital, EVF milik kamera mirrorless bisa diatur agar menampilkan berbagai macam hal. Termasuk juga menyajikan dua tampilan berupa jendela utama untuk framing dan inset berukuran lebih kecil untuk mengatur fokus manual, seperti pada EVF milik mirrorless X-T1 besutan Fujifilm ini.(Fujifilm) 

menekan tombol shutter, barulah cermin mirrorbox terangkat sehingga cahaya bisa diteruskan ke sensor gambar utama untuk mengambil foto. Terkesan rumit? Memang demikian. Ini pula sebabnya proses pembuatan DSLR harus dilakukan secara presisi karena banyaknya komponen mekanik yang dilibatkan. Kamera mirrorless tak memerlukan mekanisme ribet di atas. Kelebihannya, selain ukuran fisik kamera menjadi lebih ringkas, autofokus pada mirrorless relatif lebih akurat dibandingkan DSLR. Mirrorless mengandalkan teknik contrast detect secara langsung lewat gambar yang ditangkap sensor gambar utama, bukan dengan sensor fokus terpisah yang rawan meleset apabila kalibrasinya kurang presisi. Memang, meski lebih akurat, proses autofokus pada mirrorless cenderung lebih pelan dibandingkan DSLR karena contrast detect pada dasarnya adalah gerakan memaju-mundurkan mekanisme fokus sampai diperoleh gambar paling tajam, mirip proses fokus manual dengan tangan. Namun, belakangan para pabrikan mirrorless telah mulai mengejar ketertinggalan dalam hal kecepatan fokus dengan menanamkan mekanisme phase detect pada sensor gambar. Metode phase detect mampu mendeteksi jarak subyek foto berdasarkan cahaya yang masuk dari lensa -tak harus maju-mundur lebih dahulu seperti pada contrast detect-, lalu langsung mengarahkan motor fokus lensa ke jarak yang sesuai. Metode inilah yang digunakan oleh sensor autofokus terpisah pada DSLR sehingga bisa mengunci fokus secepat kilat dan melacak subyek bergerak (focus tracking). Mirrorless termutakhir, seperti Alpha A6300 dari Sony dan X-T2 dari Fujifilm yang dibekali teknologi phase detect di sensor gambarnya, bisa dibilang sudah mampu menandingi DSLR dalam hal kecepatan fokus dan pelacakan subyek bergerak.

Jarak dudukan lensa ke sensor (ditandai panah merah) pada kamera mirrorless (bawah) lebih pendek dibandingkan DSLR karena tak memiliki mirrorbox. Bodi kamera mirrorless pun bisa dibuat lebih tipis.(Wikipedia)

Lebih tipis, lebih fleksibel Lalu perbedaan ketiga terletak pada lensa. Penghilangan mirrorbox berujung pada flange focal distance alias jarak dari dudukan lensa ke sensor gambar yang ikut terpangkas. Walhasil, meski sebagian besar dari pabrikan kamera mirrorless juga memproduksi (atau setidaknya pernah memproduksi) DSLR, mereka tak bisa serta merta memasangkan lensa DSLR dengan kamera mirrorless. Perlu dibuat lini lensa baru yang khusus didesain untuk mirrorless, demi menyesuaikan dengan flange focal distance yang lebih pendek tadi dan juga dengan mekanisme fokus langsung dari sensor. Pengurangan flange focal distance menghasilkan dua keuntungan, yakni bodi kamera mirrorless bisa dibuat lebih tipis, tak “gemuk” seperti DSLR yang mesti menyediakan tempat untuk mirrorbox. Lensa mirrorless pun biasanya dirancang agar berukuran lebih kecil dibandingkan lensa DLSR yang sekelas. Ingat lensa pancake? Jenis lensa tipis itu dikembangkan supaya cocok dipakai untuk kamera mirrorless.   Keuntungan lain, kamera mirrorless lebih fleksibel soal lensa alias bisa dipasangi lensa-lensa untuk sistem kamera berbeda dengan bantuan adapter, termasuk lensa milik DSLR.

Adapter dipasang di antara lensa dan kamera. Dengan alat ini, kamera mirrorless bisa memakai lensa DSLR.(Canon)

Adapter ini berfungsi menambah “jarak” antara dudukan lensa dengan sensor gambar untuk mengkompensasi flange focal distance yang terpangkas. Dalam kebanyakan kasus, penggunaan adapter menghilangkan fungsi-fungsi khusus dari lensa, seperti autofokus dan image stabilizer. Namun ada pula adapter khusus yang mampu menyalakan fungsi-fungsi tersebut lewat kamera mirrorless, misalnya seperti yang dimiliki mirrorless seri EOS-M buatan Canon. Tentu, kadang lensa DSLR yang besar dan berat kurang cocok dipasangkan dengan kamera mirrorless yang mungil. Karena itu lini lensa native yang khusus didesain untuk mirrorless tetap lebih praktis.


Kamera mirrorless yang beredar di pasaran saat ini biasanya memiliki faktor bentuk rangefinder dengan LCD layar sentuh seperti misalnya Alpha A5100 dari Sony (kiri), atau faktor bentuk ala DSLR dengan handgrip dan viewfinder di bagian tengah seperti Fujifilm X-T2 (tengah). Ada pula mirrorless gaya rangefinder yang turut dilengkapi viewfinder disamping layar LCD, seperti Lumix GX8 dari Panasonic (kanan).(Sony, Fujifilm, Panasonic) 

Lebih banyak pilihan Kamera mirrorless pertama adalah Panasonic Lumix DMC-G1 yang dirilis ke pasaran pada 2008. Ketika itu bentuknya masih menyerupai DSLR dengan bagian “punuk” yang memuat viewfinder. Beberapa lama setelah Lumix G1, mulai bermunculan kamera mirrorless dengan bentuk yang lebih ringkas, mirip kamera saku dengan lensa yang bisa dicopot, seperti misalnya Pen E-P1 dari Olympus dan Lumix GF1, juga buatan Panasonic. Kamera mirrorless dengan bentuk lebih ringkas dan tanpa punuk tersebut dikenal dengan sebutan “rangefinder style”, mengacu pada kamera rangefinder jadul yang berbentuk persegi panjang. Sebagian kamera mirrorless rangefinder style yang ditujukan bagi konsumen awam hanya mengandalkan layar LCD (biasanya layar sentuh) untuk keperluan membidik gambar, tapi sebagian lainnya ada pula yang dilengkapi EVF di pojok kiri atas kamera. Saat ini mayoritas kamera mirrorless yang beredar bisa dibilang menganut kedua faktor bentuk itu, yakni mirip DSLR tradisional dengan punuk berisi EVF atau serupa rangefinder. Mana yang lebih cocok tergantung selera pengguna. Ada yang menyukai bentuk ringkas kamera mirrorless ala rangefinder, ada juga yang lebih nyaman dengan bentuk mirrorless ala DSLR dengan handgrip dan banyak tombol untuk pengaturan manual. Dari dua faktor bentuk tadi, mirrorless sudah lebih beragam dari DSLR yang rata-rata mengusung bentuk serupa, melulu dengan punuk, handgrip, dan bodi montok. Belum lagi menghitung keragaman jenis sistem (merek) yang tersedia. Berbeda dari pasaran DSLR yang praktis didominasi oleh Canon dan Nikon, jumlah pabrikan yang mencoba peruntungan di ranah mirrorless lebih banyak. Ada Panasonic dan Olympus yang lensanya bisa saling ditukar, lalu Sony dan Fujifilm, bahkan Leica, di samping dua pemain lama Canon dan Nikon. Ragam aksesori seperti flashgun hingga mikrofon yang  bisa dipasangkan dengan kamera mirrorless pun sudah banyak beredar. Ukuran sensor yang bisa dipilih juga lebih beraneka jenisnya. Ingin lensa-lensa mungil? Ada pabrikan yang membuat mirrorless dengan sensor sebesar 1 inci atau micro four-thirds. Mau kualitas gambar maksimal? Ada pula pabrikan mirrorless dengan sensor berukuran APS-C dan full-frame. Satu hal yang mungkin masih menjadi batu sandungan adalah ketersediaan jenis lensa yang belum sebanyak DSLR, terutama untuk seri lensa profesional, super tele atau specialized lens seperti tilt-shift, meski kendala ini sedikit banyak bisa diatasi dengan memakai adapter lensa. Namun, perlahan tapi pasti, mirrorless mengejar ketertinggalan. Seperti masalah kecepatan fokus yang kini tak lagi menjadi momok, bukan tidak mungkin suatu hari nanti mirrorless bisa menyamai atau bahkan melewati DSLR dalam semua hal.

sumber:https://tekno.kompas.com
Share:

Sabtu, 08 September 2018

White Balance

Apa Itu White Balance


White balance adalah aspek penting dalam dunia fotografi dan berpengaruh pada hasil akhir foto. Alasan kenapa kita perlu memahami white balance adalah karena kita ingin warna foto kita seakurat mungkin. Jadi, white balance berpengaruh terhadap warna foto.
Agar lebih jelas silahkan lihat contoh foto dibawah ini:


Ketiga foto diatas adalah foto yang identik, bahkan ketiganya berasal hanya dari satu foto. Saya hanya mengubah setting white balance-nya dan hasilnya: ketiganya sangat berbeda warnanya. Foto A tampak sangat kebiruan, foto B terlihat cukup normal dan foto C terlihat kekuning-kuningan.

Perhatikan warna cahaya lampu neon dan lampu bohlam, beda bukan? itu karena masing-masing neon dan bohlam memiliki ”temperatur warna“ yang berbeda. Cahaya yang kekuningan (bohlam) disebut hangat sementara cahaya yang kebiruan (neon) disebut dingin.
Alasan kenapa kamera memerlukan setting white balance adalah karena kita memotret dalam kondisi pencahayaan yang berubah-rubah. Mata telanjang kita adalah alat yang super canggih dan mampu beradaptasi (menyeimbangkan) terhadap perubahan warna cahaya, jadi kertas putih dimanapun akan tampak putih bagi kita. Namun kamera tidaklah secanggih mata, karena itu kertas putih belum tentu terlihat putih bagi kamera dalam warna pencahayaan yang berbeda.

Jadi tujuan setting white balance adalah memerintahkan kamera agar mengenali temperatur sumber cahaya yang ada. Supaya yang putih terlihat putih, merah terlihat merah dan hijau terlihat hijau, atau dengan kata lain agar kamera merekam warna obyek secara akurat dalam kondisi pencahaayan apapun.
White Balance Preset
Anda juga bisa menggunakan preset jika memang tersedia di kamera anda:
1.Auto : kamera akan menebak temperatur warna berdasar program yang ditanam dari sononya oleh pembuat kamera. Anda bisa menggunakannya pada kebanyakan situasi, namun tidak disetiap situasi (misal: memotret saat sunset/sunrise)
2.Tungsten : disimbolkan dengan ikon bohlam. Karena itu cocok digunakan saat anda memotret di ruangan dengan sumber cahaya bohlam.
3.Fluorescent : disimbolkan dengan ikon lampu neon, gunakan saat memotret di ruangan dengan pencahayaan lampu neon.
4. Daylight : biasanya dengan simbol matahari, gunakan saat berada di bawah sinar matahari
5. Cloudy : disimbolkan dengan awan, gunakan saat memotret di cuaca mendung
6. Flash : simbolnya kilat, jika anda menggunakan lampu flash (strobe) gunakan preset ini.
7. Shade biasanya simbolnya rumah atau pohon, gunakan saat memotret dalam rumah (siang hari) atau anda berada di daerah bayangan – bukan sinar matahri langsung.
Cara Setting White Balance Secara Manual
Beberapa kamera, terutama SLR dan prosumer, menyediakan fasilitas setting white balance manual. Setting manual adalah cara paling akurat jika kita bingung dengan temperatur warna sumber cahaya kita. Ini biasanya terjadi dalam pemotretan dengan sumber pencahayaan yang lebih kompleks (lebih dari satu jenis temperatur warna).
Kita bisa memanfaatkan kertas putih untuk tujuan ini. Artikel ini membahas lebih detail cara setting manual white balance menggunakan kertas atau tembok putih.
Cara yang lebih mudah dan akurat adalah dengan menggunakan aksesoris tambahan yang bernama expodisc atau kenko, harganya berkisar dari Rp. 800 ribu s/d Rp. 1,5 Juta. Anda bisa membeli-nya di toko-toko kamera besar.

sumber:http://belfot.com/memahami-pengertian-white-balance/
Share:

Sensor Kamera

Macam - Macam Ukuran dan Jenis Sensor Kamera

Waktu awal-awal punya HP Nokia dulu, banyak yang bertanya: kameranya berapa megapiksel? 2MP. 1,3MP. 3,15MP. Dan lain-lain. Bahkan dulu salah satu pertimbangan saya membeli handphone antara lain adalah dengan melihat seberapa besar MP pada kameranya. Ada semacam "kepercayaan" bahwa semakin tinggi ukuran megapiksel pada kamera, maka hasil atau kualitas fotonya kian bagus.
Padahal, bukan itu faktor utama baik dan buruknya kualitas gambar yang dihasilkan oleh kamera. Setidaknya, itu yang saya pahami saat ini. Bahwa kualitas hasil foto sebuah kamera justru paling dipengaruhi oleh seberapa besar ukuran sensornya.




Ukuran Sensor Kamera Digital
Pada jaman kamera masih berbentuk analog (menggunakan film atau istilah lainnya mungkin klise), kamera akan memproyeksikan cahaya yang ditangkap oleh lensa ke film. Prinsipnya mungkin mirip dengan cara kerja mata (tentu saja, mata kita bekerja dengan sistem yang jauh lebih rumit dari alat buatan manusia manapun). Jika saya tidak salah ingat, kita bisa melihat benda karena adanya "pantulan cahaya" dari benda dan mengenai mata kita.
Pada kamera digital (maksudnya kamera yang tidak menggunakan film), fungsi film digantikan oleh alat yang disebut sensor. Sensor kamera inilah yang akan mempengaruhi seberapa baik gambar atau foto yang dihasilkan. Secara umum, semakin besar ukuran sensor sebuah kamera, maka akan semakin baik hasil pengambilan gambarnya.
Ukuran sensor pada kamera digital umumnya ada beberapa tipe, antara lain:
Full Frame
APS(H/S/C)
1.5" (inchi)
Micro Four Thirds (4/3")
1 inchi
dll.
Gambar di atas memberikan ilustrasi yang jelas mengenai perbandingan ukuran sensor pada kamera. Patokan mudahnya, ukuran sensor full frame berarti sama luasnya dengan ukuran film yang digunakan pada kamera analog, yaitu sekitar 35mm. Dan untuk lebih memahami hasil pengambilan gambar dengan objek yang sama tetapi menggunakan ukuran sensor yang berbeda, simak gambar di bawah ini:


Jenis Sensor Kamera
Beberapa sensor kamera digital yang banyak digunakan antara lain:
CCD (Charge-coupled device)
CMOS
Foveon
LiveMOS
Mungkin masih ada beberapa jenis sensor lainnya yang belum saya ketahui. Saya akan meng-update catatan ini jika kelak saya telah mendapat informasi tambahan.

sumber:google.com
Share:

Jumat, 07 September 2018

Komposis Dasar Fotografi


1.  Rule of 3rd
Komposisi ini adalah komposisi yang paling sering dipakai oleh kebanyakan fotografer, yaitu dengan cara membagi frame menjadi 3 bagian baik vertikal dan/atau horizontal,  kemudian meletakan objek dipersilangan garis atau di garis itu sendiri. Dengan meletakan objek di pada tempat tersebut maka hal ini dapat membuat foto kelihatan lebih dinamis karena memaksa mata orang yang melihat foto tersebut bergerak dari tengah frame kearah objek utama pada foto.
Catatan: ketika membagi frame menjadi 3 bagian, tidak perlu terlalu presisi ( = 1/3 ), cukup dengan perkiraan ( ≈  1/3 ). contoh 
contoh:

2. Leading Lines
(Leading = Memandu, Lines = Garis-garis)
Adalah suatu komposisi yang didalamnya terdapat garis-garis yang secara natural dapat membatu memandu/mengarahkan mata orang yang melihat foto ke suatu objek utama.
Contoh:

3. Interrupted Pattern
(Pattern = Pola, Interrupted = Terganggu)
Salah satu hal yang menarik untuk dilihat oleh mata manusia adalah Pola berulang, karena hal ini selalu dapat memberikan rasa puas bagi otak manusia, mungkin karena perulangan dari pola itu sendiri dapat secara sederhana diproses oleh otak, entahlah :P. Namun karena rasa bosan pada perulangan pola itu sendiri dapat menjadi suatu kelemahan foto. Jadi agar dapat membuat foto terlihat lebih menarik, cobalah untuk mencari suatu “elemen pengganggu” yang justru dapat mempercantik pola berulang tersebut.
Contoh:

4. Breaking Symmetry
(Symmetry = Simetri, Breaking = Merusak)
Sebenarnya komposisi simetris saja sudah sangat mengaggumkan tapi “Lah kok dirusak?”, Alasannya sama persis seperti komposisi  sebelumnya yaitu agar membuat foto kelihatan lebih menarik.
Contoh:

5. Frame in the Frame
Alias “Framing”, adalah komposisi yang menyertakan elemen frame natural seperti jendela, pintu, dll, kemudian meletakan objek utama didalam frame tambahan tersebut.
Contoh:

6. Diagonal Rules
Aturan Komposisi Diagonal (Diagonal Rules) Salah satu sisi gambar dibagi menjadi dua, dan kemudian setiap setengah dibagi menjadi tiga bagian. Sisi yang berdekatan dibagi sehingga garis menghubungkan titik-titik yang dihasilkan membentuk suatu frame diagonal. Menurut Peraturan Diagonal, unsur-unsur penting dari gambar harus ditempatkan di sepanjang diagonal-diagonalnya:
contoh:

7. Golden Diagonal Rules
Komposisi foto golden ratio atau golden section atau rasio emas adalah susunan foto dimana point if interest alias subyek utama diletakkan pada titik persimpangan dua garis horisontal yang memiliki perbandingan 1:1,6 atau 38/62.
Kalau anda bingung dengan penjelasan diatas, gambar dibawah ini akan cukup membantu memahami deskripsi komposisi golden ratio: 

contoh :

Golden ratio kalau dirunut diturunkan dari aturan matematikawan terkenal Fibonacci (pada suatu saat anda pasti pernah membaca mengenai bilangan Fibonacci saat di bangku sekolah), dimana dia menemukan golden ratio adalah susunan yang banyak ditemukan di alam: bunga matahari, kerang dll. Lukisan terkenal seperti Monalisa atau The Last Supper menggunakan komposisi dan desainer sampai sekarang juga banyak memanfaatkan golden ratio dalam pekerjaan mereka.

Sumber:http://dswclick.blogspot.com http://belfot.com/komposisi-foto
Share:

Blogroll

Belajar Fotografi

Diberdayakan oleh Blogger.

Reflektor dan Cahaya

Cari Blog Ini